jogjaversitas.com – Sumpah Arung Palakka yang terjadi di Gunung Cempalagi adalah sebuah peristiwa penting dalam sejarah perjuangan masyarakat Bugis, khususnya untuk memulihkan kehormatan Bone yang telah dijajah oleh Kerajaan Gowa. Sumpah ini menjadi simbol dari tekad dan semangat perlawanan Arung Palakka terhadap penindasan yang dilakukan oleh Gowa, yang pada waktu itu memperlakukan Bone dan rakyat Bugis lainnya sebagai budak.
Arung Palakka yang saat itu telah menyaksikan penderitaan rakyatnya dan memperhatikan ketidakadilan yang dialami oleh mereka, merasa tergerak untuk melakukan perlawanan yang lebih besar. Sumpah di Gunung Cempalagi yang ia ucapkan, yang berisi tekad untuk tidak memotong rambutnya sebelum berhasil membebaskan Bone dari kekuasaan Gowa, menjadi simbol komitmennya untuk memperjuangkan kebebasan dan martabat bangsa Bugis. Rambut panjang pada waktu itu dianggap sebagai simbol kehormatan, sehingga sumpah tersebut merupakan janji pribadi yang sangat kuat dan penuh makna.
Sumpah ini juga menggambarkan perjuangan Arung Palakka yang tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kemerdekaan tanah kelahirannya. Perjuangannya akhirnya membuahkan hasil setelah ia berhasil mendapatkan dukungan dari Kerajaan Buton, yang menjadi sekutu utama dalam pertempuran melawan Gowa. Kemenangan Arung Palakka di dalam melawan Gowa, yang didukung oleh pasukan Buton dan beberapa kerajaan Bugis lainnya, akhirnya membuka jalan untuk mengembalikan kemerdekaan dan kehormatan Bone.
Sumpah Arung Palakka tidak hanya sekedar ritual atau simbol, tetapi menjadi kekuatan moral yang mendorongnya untuk terus berjuang hingga tercapai tujuan besar tersebut. Keteguhan hati dan semangat juang Arung Palakka, yang tercermin dalam sumpahnya, menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah perjuangan rakyat Bugis dalam melawan penindasan dan ketidakadilan yang diterima dari Kerajaan Gowa.
Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta: Kampus Masa Depan Berbasis Nilai, Inovasi, dan Budaya
Pada tahun 1644, peristiwa yang mengubah sejarah terjadi di tanah Bugis. Ketika Arung Palakka masih kecil, perang besar pecah antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Bone, yang dipimpin oleh adik La Maddaremmeng, La Tenriaji To Senrima, harus menelan pil pahit setelah dikalahkan oleh Gowa. Dalam sekejap, status Bone yang semula menjadi palili (daerah bawahan) berubah menjadi ata (budak) Gowa.
Sebagai seorang anak dari negeri yang jatuh, Arung Palakka dan keluarganya dipaksa bekerja sebagai pelayan di istana Karaeng Pattingalloang, mangkubumi Kerajaan Gowa. Rakyat Bone yang berasal dari kalangan rendahan pun dipaksa menjadi kuli, terjebak dalam kerja paksa yang tidak manusiawi. Selama masa-masa kelam itu, Arung Palakka merasakan api kemarahan yang menggebu-gebu di dalam hatinya, menyaksikan bagaimana rakyatnya diperlakukan dengan hina.
Arung Palakka yang memiliki jiwa pemberani sering kali diminta untuk membawa tombak pembesar Gowa ketika bepergian atau berburu. Namun, ia tidak hanya mematuhi perintah. Di balik sikap tunduknya, ia mulai belajar banyak tentang adat-istiadat Istana Gowa yang penuh tipu daya. Setelah Karaeng Pattingalloang wafat, posisi Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Gowa jatuh ke tangan saudaranya, Karaeng Karunrung, yang kemudian memerintahkan Arung Palakka untuk membawa 10.000 orang Bugis, terdiri dari rakyat Bone dan Soppeng, untuk bekerja keras membangun benteng yang sangat besar.
Namun, arus perlawanan sudah mulai mengalir. Para pembesar Gowa tidak menyadari bahwa perasaan sakit hati di antara pekerja Bugis mulai meluap. Banyak di antara mereka yang melarikan diri, dan karena kegagalan yang besar ini, tanggung jawab dipikulkan pada pundak To Bala, perwakilan dari Bone. Pekerjaan kasar yang semestinya dilakukan oleh rakyat biasa kini harus dilakukan oleh para bangsawan, sebuah penghinaan yang sangat menyakitkan. Ketika Arung Palakka menyaksikan kekejaman yang dilakukan terhadap rakyatnya, terutama saat seorang pekerja dipukuli di hadapannya, titik balik pun datang.
Arung Palakka merencanakan sebuah pelarian besar. Pada suatu pesta tahunan kerajaan yang berlangsung di Tallo, sebuah kesempatan yang hanya datang setahun sekali, Arung Palakka mengatur rencana dengan cerdik. Ketika sebagian besar rakyat dan penjaga pergi ke Tallo untuk merayakan pesta, ia memberi isyarat kepada orang-orang Bugis untuk melarikan diri. Di bawah perlindungan waktu yang tepat, orang-orang Bugis berhasil mengatasi beberapa penjaga yang tersisa dan melarikan diri dengan aman, menuju tanah kelahiran mereka.
Namun, kabar tentang pelarian ini sampai ke telinga para pembesar Gowa. Mereka segera mengejar orang-orang Bugis yang kabur, dan menyalahkan To Bala sebagai perwakilan yang gagal. Di tengah kekacauan ini, Arung Palakka bersama para pemimpin Bugis lainnya mengadakan pertemuan penting di Mampu. Mereka merundingkan sebuah persekutuan besar antara Bone dan Soppeng, yang dikenal dengan nama Pincara Lopié ri Attapang (Perjanjian Rakit di Attapang) pada tahun 1660.
Walaupun Wajo menolak bergabung, kedua kerajaan ini tetap bertekad melawan kekuasaan Gowa. Pasukan Bone dan Soppeng, yang dipimpin oleh Arung Palakka, dengan semangat juang yang tinggi, bertempur habis-habisan melawan pasukan Gowa yang dipimpin oleh Karaeng Sumanna. Sayangnya, pasukan mereka kalah, dan sisa pasukan Bone serta Soppeng mundur ke daerah Cempalagi, ke tempat yang lebih aman.
Di tengah kekalahan ini, Arung Palakka mulai menyadari bahwa ia tidak akan bisa melanjutkan perjuangan di tanah Bugis. Bone dan Soppeng sudah kekurangan kekuatan untuk melawan Gowa. Namun, ia tak mau menyerah begitu saja. Arung Palakka bersama pemimpin-pemimpin lainnya memutuskan untuk berlayar ke Tanah Wolio, di Buton. Di sana, mereka berharap dapat menemukan sekutu yang kuat untuk bergabung dalam perlawanan besar melawan Gowa.
Namun sebelum berlayar, di sebuah tempat yang sangat sakral, di Gunung Cempalagi, Arung Palakka membuat sebuah sumpah yang menggetarkan hati. Di bawah langit yang penuh bintang, dengan tekad yang kuat, ia bersumpah bahwa ia tidak akan memotong rambutnya hingga ia berhasil mengembalikan kehormatan Bone dan membebaskan tanah kelahirannya dari penjajahan Gowa. Rambut panjang yang ia jaga dengan penuh kesetiaan itu, menjadi simbol kehormatan yang tak boleh disentuh sebelum tujuan mulianya tercapai.
Sumpah Arung Palakka bukanlah sekadar kata-kata, tetapi sebuah janji yang mengakar dalam hatinya. Ini adalah komitmen untuk memperjuangkan kebebasan dan martabat bangsanya, yang tidak akan pernah terhenti hingga tanah Bugis dibebaskan dari belenggu penjajahan. Begitulah, perjalanan Arung Palakka dimulai, sebuah perjalanan yang penuh dengan tantangan, perjuangan, dan pengorbanan, demi satu tujuan mulia: mengembalikan kehormatan tanah Bugis yang telah terinjak-injak oleh kekuasaan Gowa. (RED)